Dominasi Nvidia di Dunia AI dan Ancaman dari Para Pesaing

Ketika para investor membanjiri saham Nvidia Corp., menjadikannya pembuat chip paling bernilai di dunia, satu keyakinan mendasari semua itu: kekuasaannya dalam chip komputasi kecerdasan buatan (AI) akan menjadi tambang emas jangka panjang.
Namun, kini sorotan mulai bergeser. Pertanyaan yang mengemuka bukan lagi seberapa hebat Nvidia saat ini, tetapi seberapa lama dominasi ini bisa dipertahankan—terutama ketika para raksasa teknologi lain, seperti Microsoft dan Amazon, mulai mengembangkan chip tandingan mereka sendiri dan ketika pendekatan baru terhadap pelatihan AI mulai bermunculan.
Apa yang Membuat Chip AI Nvidia Begitu Populer?
Jawabannya karena H100 Hopper dan Blackwell. Nvidia H100 (dinamai dari pionir komputer Grace Hopper) adalah chip akselerator AI generasi sebelumnya yang menjadi pilar utama pertumbuhan Nvidia saat ini. Namun, posisi itu kini digantikan oleh seri Blackwell, yang menawarkan performa 2,5x lebih tinggi dalam pelatihan AI dibanding pendahulunya.
Blackwell bahkan terlalu besar untuk diproduksi sebagai satu chip utuh—ia terdiri dari dua chip yang dikombinasikan secara presisi, menciptakan satu unit prosesor supercepat untuk komputasi AI.
Chip-chip ini adalah tulang punggung dari pelatihan model AI generatif, yang membutuhkan jutaan iterasi dan daya komputasi raksasa. Tak heran, pemerintah AS melarang ekspor chip-chip ini ke China demi menjaga keunggulan teknologi negara tersebut.
Dari Gaming ke AI: Perjalanan Nvidia
Didirikan pada 1993, Nvidia awalnya adalah raja chip grafis untuk gaming. Namun, di awal 2000-an, insinyur Nvidia menyadari bahwa arsitektur GPU mereka sangat cocok untuk pekerjaan yang membutuhkan pemrosesan paralel—sebuah kebutuhan utama dalam riset AI.
Saat para ilmuwan AI mencari cara untuk mempercepat pelatihan model mereka, GPU Nvidia menjadi jawabannya. Dan sejak saat itu, Nvidia tak pernah melihat ke belakang.
Siapa Saja Pesaingnya?
Menurut IDC, Nvidia saat ini menguasai 90% pasar data center GPU—angka yang luar biasa besar. Namun para raksasa seperti Amazon (AWS), Google (GCP), dan Microsoft (Azure) sedang mengembangkan chip mereka sendiri, mencoba mengurangi ketergantungan pada Nvidia.
Di sisi lain, AMD dan Intel juga mencoba masuk. AMD memperkenalkan MI350, chip AI baru yang diklaim 35x lebih cepat dari versi sebelumnya. Namun, pertumbuhan penjualannya masih tertinggal jauh dari Nvidia.
Intel sendiri justru mundur dari pasar AI cloud. Chip Falcon Shores dibatalkan perilisannya setelah umpan balik negatif dari calon pelanggan.
Strategi Nvidia: Inovasi Cepat dan Dominasi Ekosistem
CEO Jensen Huang memastikan Nvidia tetap di depan dengan kecepatan rilis produk baru yang belum tertandingi. Setiap tahun, Nvidia berkomitmen untuk meluncurkan chip dan sistem baru—termasuk superchip GB200 (kombinasi dua GPU Blackwell dan satu CPU Grace).
Tidak hanya itu, Nvidia juga membuka sebagian teknologinya seperti NVLink, sistem konektivitas supercepat antar chip, kepada pihak ketiga. Ini menunjukkan upaya Nvidia untuk tetap menjadi pusat gravitasi dalam ekosistem AI, bahkan jika beberapa klien mulai membuat chip sendiri.
Ancaman Baru: DeepSeek dan AI Hemat Energi
Salah satu momen yang mengguncang pasar terjadi awal tahun ini ketika startup China DeepSeek meluncurkan model AI open-source R1, yang diklaim dapat dilatih dengan biaya jauh lebih murah. Pendekatan ini menggunakan reinforcement learning—yakni belajar dari interaksi langsung di dunia nyata, bukan pelatihan berbasis data besar.
Bagi Nvidia, ini bisa menjadi gangguan besar karena model seperti ini mungkin tidak butuh chip dengan daya komputasi ekstrem seperti Blackwell. Namun Nvidia merespons dengan bijak, menyebut R1 sebagai “terobosan AI yang luar biasa.”
Permintaan AI Masih Menggila—Tapi Sampai Kapan?
Untuk saat ini, permintaan terhadap chip Nvidia masih melebihi kapasitas produksi. Microsoft, Google, Meta, dan Amazon masih mengalokasikan miliaran dolar untuk memperluas data center AI mereka.
Namun, tanda-tanda perlambatan mulai muncul. Microsoft menunda beberapa proyek data center globalnya, memicu kekhawatiran akan kelebihan kapasitas di masa depan.
Tantangan Geopolitik
Selain persaingan bisnis, Nvidia juga harus menghadapi pembatasan ekspor dari pemerintah AS, terutama ke China—pasar semikonduktor terbesar di dunia.
Larangan terbaru terhadap chip H20 menyebabkan Nvidia mencatat kerugian inventaris sebesar $5,5 miliar. Meskipun demikian, Nvidia mendapat angin segar ketika aturan pembatasan ekspor ke Timur Tengah ditangguhkan, memungkinkan pengiriman kembali ke wilayah seperti Arab Saudi dan UEA.
Jensen Huang kini aktif melobi pemerintah, memperingatkan bahwa terlalu banyak pembatasan justru akan membuka jalan bagi perusahaan seperti Huawei untuk mengambil alih pasar.
Kesimpulan: Apakah Nvidia Akan Tetap Jadi Raja?
Dengan pangsa pasar lebih dari 90% di segmen GPU pusat data dan kecepatan inovasi yang belum tertandingi, Nvidia saat ini tetap menjadi raja chip AI. Namun, tekanan dari pesaing seperti AMD, pergeseran pendekatan dalam pengembangan AI seperti yang ditawarkan DeepSeek, serta dinamika geopolitik, bisa menjadi tantangan besar ke depan.
Jika Nvidia terus berinovasi, memperluas ekosistem, dan menjawab tantangan pasar dengan cepat, peluang untuk mempertahankan tahtanya tetap besar. Tapi satu hal pasti: di era AI yang sangat dinamis, status raja bisa berubah lebih cepat daripada yang kita bayangkan.
Yuk Mulai Investasi di Saham AS Sekarang!
Sekarang kamu bisa beli saham AS dari perusahaan ternama seperti NVIDIA, Intel, AMD, Google, Apple, hingga Unilever di Reku. Download aplikasi Reku sekarang dan mulai berinvestasi di aset global!
Disclaimer: Analisa market ini adalah hal yang bersifat informasional. Ini bukan merupakan tawaran untuk menjual atau ajakan untuk membeli atau menjual aset kripto dan saham AS apa pun di PT Rekeningku Dotcom Indonesia, perusahaan yang dibatasi oleh pihak atau entitas lain yang diorganisir, dikendalikan, atau dikelola oleh Reku, dan oleh karena itu tidak dapat diandalkan penuh sehubungan dengan pembelian atau penjualan aset kripto dan saham AS.
Dengan melakukan perdagangan aset kripto dan saham AS berarti nasabah sudah mengetahui ada unsur resiko di dalam aktivitas tersebut. Perubahan harga aset kripto sangat fluktuatif. Diharapkan menggunakan analisa cermat sebelum melakukan aktivitas membeli atau menjual aset kripto dan saham AS. Kami tidak memaksa nasabah untuk melakukan jual-beli aset kripto dan saham AS sebagai investasi atau mencari keuntungan, yang berarti semua aktivitas perdagangan merupakan keputusan individu dari pengguna.