Delisting adalah proses di mana saham suatu perusahaan dikeluarkan dari daftar bursa saham, yang berarti saham tersebut tidak lagi dapat diperdagangkan secara publik di bursa tersebut. Proses ini bisa terjadi karena berbagai alasan, baik atas kehendak perusahaan (voluntary delisting) atau karena tidak memenuhi persyaratan bursa (forced delisting). Delisting mengubah status perusahaan dari entitas publik menjadi privat, yang berarti mereka tidak lagi terikat dengan aturan ketat yang mengatur perusahaan publik.
Relisting, di sisi lain, adalah kebalikan dari delisting, di mana perusahaan yang sebelumnya ter-delisting kembali mencatatkan sahamnya di bursa saham. Perusahaan yang melakukan delisting biasanya melakukannya untuk fokus pada restrukturisasi internal atau untuk menghindari tekanan dari pasar saham publik yang sering kali menuntut pertumbuhan jangka pendek. Proses delisting dapat memberikan dampak besar pada investor, terutama dalam hal likuiditas saham.
Voluntary delisting terjadi ketika perusahaan secara sukarela memilih untuk menghapuskan sahamnya dari bursa. Ini bisa dilakukan karena beberapa alasan, seperti ingin fokus pada pertumbuhan jangka panjang tanpa tekanan dari investor publik, atau karena merger dengan perusahaan lain. Perusahaan mungkin merasa lebih efisien untuk beroperasi sebagai entitas privat.
Forced delisting terjadi ketika perusahaan dipaksa oleh bursa untuk keluar dari daftar perdagangan saham karena tidak memenuhi syarat yang ditetapkan, seperti gagal mematuhi aturan laporan keuangan, likuidasi, atau penurunan drastis dalam nilai saham. Bursa memiliki kriteria ketat yang harus dipatuhi, dan jika tidak, delisting akan dilakukan secara paksa.
Bagi investor, delisting bisa memberikan dampak signifikan, terutama dalam hal likuiditas saham. Saat saham suatu perusahaan delisting, investor tidak bisa lagi memperdagangkan saham tersebut di bursa publik. Hal ini mengurangi likuiditas, karena investor hanya bisa menjual saham tersebut melalui transaksi over-the-counter (OTC) yang biasanya lebih rumit dan tidak seefisien di bursa.
Dalam kasus voluntary delisting, perusahaan mungkin menawarkan pembelian kembali saham dari investor, yang dikenal sebagai buyback. Dalam buyback ini, perusahaan membeli kembali saham dari investor dengan harga tertentu untuk mengompensasi mereka atas hilangnya akses perdagangan di bursa.
Namun, jika forced delisting terjadi akibat kebangkrutan atau masalah serius lainnya, ada kemungkinan investor akan kehilangan seluruh investasinya jika perusahaan tidak mampu mengembalikan modal yang diinvestasikan. Hal ini menciptakan risiko besar bagi pemegang saham, terutama ketika tidak ada buyback yang ditawarkan.
Baca Juga: Apa Itu NASDAQ? Panduan Lengkap Mengenai Bursa Saham Teknologi Terbesar di Dunia
Proses delisting di Bursa Efek Indonesia (BEI) mengikuti serangkaian aturan yang ditetapkan oleh bursa dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Proses ini bisa dipicu oleh keputusan internal perusahaan untuk melakukan voluntary delisting, atau oleh BEI jika perusahaan gagal memenuhi persyaratan yang berlaku di pasar saham.
Untuk voluntary delisting, perusahaan perlu mendapatkan persetujuan dari pemegang saham melalui rapat umum pemegang saham (RUPS). Setelah itu, perusahaan harus mengajukan permohonan resmi ke BEI dan melengkapi dokumen yang dibutuhkan. Proses ini biasanya membutuhkan waktu beberapa bulan hingga disetujui sepenuhnya oleh bursa.
Dalam involuntary delisting, BEI dapat mengeluarkan surat peringatan kepada perusahaan yang tidak mematuhi aturan bursa. Jika perusahaan gagal memperbaiki situasinya dalam jangka waktu yang ditentukan, BEI akan memproses delisting secara paksa. Perusahaan harus menyelesaikan semua kewajiban terkait sahamnya sebelum proses delisting selesai.
Beberapa contoh perusahaan di Indonesia yang pernah mengalami delisting adalah PT Berlian Laju Tanker Tbk yang mengalami forced delisting karena masalah keuangan dan gagal memenuhi syarat bursa. Kasus lainnya adalah PT Skybee Tbk yang delisting secara sukarela setelah mengalami merger dan tidak lagi memerlukan status perusahaan publik. Contoh lainnya adalah PT Multibreeder Adirama Indonesia Tbk yang delisting setelah diakuisisi oleh PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. Perusahaan ini melakukan voluntary delisting sebagai bagian dari restrukturisasi bisnis yang lebih besar.
Di balik pesatnya perkembangan aset digital, ada satu teknologi yang menjadi tulang punggung inovasi di industri ini: smart contract. Meski istilah ini sering terdengar, belum banyak orang yang benar-benar memahami apa sebenarnya smart contract dan bagaimana fungsinya. Apa Itu Smart Contract? Sec
Ethereum Improvement Proposal (EIP) adalah dokumen teknis yang menjelaskan standar baru atau pembaruan untuk blockchain Ethereum. EIP digunakan untuk mengusulkan perubahan, baik untuk aspek teknis yang berkaitan dengan protokol Ethereum, maupun bagi standar kontrak pintar (smart contract) dan API
Bull market adalah periode di pasar di mana harga saham atau aset lainnya mengalami kenaikan yang signifikan dan berkelanjutan. Istilah ini umumnya merujuk pada pasar saham, tetapi juga dapat diterapkan pada pasar obligasi, komoditas, dan aset lainnya. Dalam bull market, sentimen investor biasany
“Degen” adalah singkatan dari “degenerate,” yang berasal dari dunia perjudian untuk menggambarkan seseorang yang mengambil keputusan finansial berisiko tinggi tanpa banyak perhitungan. Dalam konteks kripto, istilah ini merujuk pada individu yang terlibat dalam investasi as
Beacon Chain adalah komponen kunci dari jaringan Ethereum 2.0, dirancang untuk meningkatkan skalabilitas, keamanan, dan efisiensi dari blockchain Ethereum. Diperkenalkan pada Desember 2020, Beacon Chain berfungsi sebagai sistem konsensus utama yang mendukung mekanisme Proof of Stake (PoS) di Ethe